Sepak bola Italia selalu punya cara sendiri untuk survive. Ingat tahun 1982, saat Liga Serie A diganggu setan suap, ”Gli Azzurri” malah juara dunia di Spanyol. Empat tahun lalu, ketika dunia bergetar oleh skandal suap lebih heboh, calciopoli, Italia tampil terbaik di dunia.
Meski begitu, guncangan calciopoli tampaknya memang tak seketika merobohkan bangunan Serie A yang berdiri kokoh selama seratus tahun lebih. Guncangan skandal sepak bola yang melibatkan klub-klub elite seperti Juventus dan AC Milan ini baru terasa setelah Fabio Cannavaro cs mengangkat trofi di Stadion Olimpiade Berlin.
Sejak Juventus turun ke Serie B dan AC Milan tergopoh-gopoh mengejar pesaing abadinya, Internazionale, pamor Liga Serie A terus meredup. Klub-klub terbaik mereka tak lagi diminati bintang- bintang dunia yang lebih memilih mem-branding diri di Liga Inggris atau Spanyol. Sejak musim 2006-2007 jumlah penonton yang datang ke stadion di Italia terus menurun, bahkan pernah mencapai titik nadir rata-rata 15.000 orang per pertandingan, termasuk laga-laga big match.
Meski Internazionale sukses menjadi yang terbaik di Eropa, aura hebat tim ”Biru-Hitam” di bawah kendali Jose Mourinho itu tak mengilhami penampilan tim nasional Italia di Afrika Selatan 2010. Meski sang maestro Marcelo Lippi kembali turun gunung, juara dunia Italia terseok-seok di Afrika Selatan dan angkat koper sebelum kartu pos yang mereka kirimkan tiba di kampung halaman.
Kondisi di Serie A sendiri ibarat kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Seperempat abad lalu, Liga Italia menikmati masa kejayaannya yang gemilang. Hampir semua pemain terbaik dunia ingin menjajal liga terkaya dan termewah itu. Bahkan negara paling hebat dalam memproduksi pemain berkualitas, Brasil, menempatkan tak kurang dari 300 pemainnya mulai dari Serie C hingga Serie A. Namun, memori itu tinggal kenangan dan kini Italia bukan lagi ”surga” bagi para bintang, bahkan bagi pelatih terbaik mereka sekalipun.
Lippi, sejak gagal di Afrika Selatan, tak punya kerjaan. Fabio Capello, pelatih yang menikmati sukses bersama AC Milan dan menancapkan nama besarnya di Spanyol, masih menjadi bos timnas Inggris. Demikian pula Giovanni Trapattoni, figur paling berpengaruh pada kesuksesan Juventus, kini menjadi Manajer Republik Irlandia.
Bukan cuma itu, pelatih-pelatih muda yang siap menggantikan generasi Lippi pun kini tak lagi menukangi tim-tim Serie A. Carlo Ancelotti yang mengecap sukses bersama AC Milan berada di Stamford Bridge dan sukses menjadi juara Inggris pada musim pertamanya di Premiership. Juga Roberto Mancini, mantan pemain Sampdoria yang mengenyam bulan madu bersama Internazionale, kini menjadi arsitek Manchester City. Bahkan Luciano Spalletti sedang menapaki jalan sukses bersama Zenit St Petersburg, Rusia.
Dengan hijrahnya hampir semua pelatih terbaiknya, Liga Serie A yang akan dimulai pekan depan dipastikan diotaki oleh pelatih-pelatih yang belum pernah mencatatkan diri sebagai juara di tingkat domestik. AC Milan, sepeninggal Leonardo, dilatih oleh Massimiliano Allegri, yang keberhasilan terbesarnya mengantarkan klub ”gurem” Cagliari ke zona Eropa musim lalu. Adapun ”Sang Nyonya Besar” Juventus, yang selalu salah ditulis dengan sebutan ”Si Nyonya Tua”, kini diarsiteki Luigi Delneri yang kesuksesan terakhirnya adalah mengantarkan Sampdoria ke posisi keempat, sekaligus menembus zona Liga Champions.
Tim elite lainnya, AS Roma, kini dilatih Claudio Ranieri yang punya riwayat sangat berwarna setelah menukangi Fiorentina, Chelsea, Valencia, dan Juventus. Namun, Ranieri yang mendapat julukan pelatih ”nyaris-nyaris juara” hanya mengecap nikmat juara bersama Valencia dan Fiorentina.
Maka, sangat boleh jadi, satu-satunya pelatih yang punya sejarah gemilang di Serie A saat ini hanyalah Rafael Benitez, bos baru Internazionale, yang menggantikan posisi Mourinho. Meski kinerjanya mengecewakan bersama Liverpool pada musim lalu, Benitez pernah membawa ”The Reds” sebagai juara Eropa pada 2005 dan juara Piala FA. Sebelumnya bersama Valencia, Benitez juga menorehkan tinta emas dengan menjuarai Piala UEFA dan dua gelar Liga Spanyol. Bahkan, pada pekan- pekan pertamanya di San Siro, pria asal Spanyol ini sukses merebut Piala Super Italia setelah mengalahkan AS Roma.
Hadirnya Benitez pulalah yang membuat Liga Serie A musim ini sedikit punya harapan untuk bersaing pamor dengan Liga Inggris dan tentu saja Liga Spanyol yang kebanjiran bintang dunia, terutama dengan hadirnya Sami Khedira, Mesut Oezil, dan Mourinho di Santiago Bernabeu.
Benitez boleh dikatakan beruntung karena menangani Internazionale yang musim lalu mencatat sejarah dengan merebut treble winners. Meski kehilangan Mario Balotelli yang dibujuk Mancini hijrah ke Manchester City, Benitez mendapatkan penggantinya yang disebut-sebut bakal lebih bersinar ketimbang Zlatan Ibrahimovic, Coutinho. Di luar itu, Benitez masih punya jajaran skuad lama yang matang sejak Inter ditangani Mancini. Kesuksesan terbesarnya ialah mempertahankan Douglas Maicon yang banyak diincar klub-klub elite Eropa.
Sekali lagi, Internazionale akan menjadi favorit terkuat di Serie A, sementara tim-tim lain mencoba menahan laju Nerazzurri dalam mengoleksi trofi. Peringkat kedua musim lalu, AS Roma, sedikit melakukan perjudian dengan merekrut bintang penuh problem, Adriano. Meski masih punya Daniele De Rossi dan Francesco Totti, peluang ”Pasukan Serigala” musim ini masih tidak lebih baik ketimbang musim lalu.
AC Milan tampaknya juga masih harus menyimpan ambisinya untuk kembali menjadi penguasa Italia. Kehadiran Allegri memang memberikan harapan, tetapi dari sisi skuad, tampaknya mereka masih bertumpu pada pasukan tua yang diwakili oleh Clarence Seedorf, Alessandro Nesta, Gennaro Gattuso, dan Andrea Pirlo. Sejumlah pemain muda memang didatangkan, seperti Kevin- Prince Boateng dan Sokratis Papastathopoulos, tetapi tampaknya belum bisa banyak menolong.
Ditulis oleh: ANTON SANJOYO
Sumber: KOMPAS CETAK
Meski begitu, guncangan calciopoli tampaknya memang tak seketika merobohkan bangunan Serie A yang berdiri kokoh selama seratus tahun lebih. Guncangan skandal sepak bola yang melibatkan klub-klub elite seperti Juventus dan AC Milan ini baru terasa setelah Fabio Cannavaro cs mengangkat trofi di Stadion Olimpiade Berlin.
Sejak Juventus turun ke Serie B dan AC Milan tergopoh-gopoh mengejar pesaing abadinya, Internazionale, pamor Liga Serie A terus meredup. Klub-klub terbaik mereka tak lagi diminati bintang- bintang dunia yang lebih memilih mem-branding diri di Liga Inggris atau Spanyol. Sejak musim 2006-2007 jumlah penonton yang datang ke stadion di Italia terus menurun, bahkan pernah mencapai titik nadir rata-rata 15.000 orang per pertandingan, termasuk laga-laga big match.
Meski Internazionale sukses menjadi yang terbaik di Eropa, aura hebat tim ”Biru-Hitam” di bawah kendali Jose Mourinho itu tak mengilhami penampilan tim nasional Italia di Afrika Selatan 2010. Meski sang maestro Marcelo Lippi kembali turun gunung, juara dunia Italia terseok-seok di Afrika Selatan dan angkat koper sebelum kartu pos yang mereka kirimkan tiba di kampung halaman.
Kondisi di Serie A sendiri ibarat kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Seperempat abad lalu, Liga Italia menikmati masa kejayaannya yang gemilang. Hampir semua pemain terbaik dunia ingin menjajal liga terkaya dan termewah itu. Bahkan negara paling hebat dalam memproduksi pemain berkualitas, Brasil, menempatkan tak kurang dari 300 pemainnya mulai dari Serie C hingga Serie A. Namun, memori itu tinggal kenangan dan kini Italia bukan lagi ”surga” bagi para bintang, bahkan bagi pelatih terbaik mereka sekalipun.
Lippi, sejak gagal di Afrika Selatan, tak punya kerjaan. Fabio Capello, pelatih yang menikmati sukses bersama AC Milan dan menancapkan nama besarnya di Spanyol, masih menjadi bos timnas Inggris. Demikian pula Giovanni Trapattoni, figur paling berpengaruh pada kesuksesan Juventus, kini menjadi Manajer Republik Irlandia.
Bukan cuma itu, pelatih-pelatih muda yang siap menggantikan generasi Lippi pun kini tak lagi menukangi tim-tim Serie A. Carlo Ancelotti yang mengecap sukses bersama AC Milan berada di Stamford Bridge dan sukses menjadi juara Inggris pada musim pertamanya di Premiership. Juga Roberto Mancini, mantan pemain Sampdoria yang mengenyam bulan madu bersama Internazionale, kini menjadi arsitek Manchester City. Bahkan Luciano Spalletti sedang menapaki jalan sukses bersama Zenit St Petersburg, Rusia.
Dengan hijrahnya hampir semua pelatih terbaiknya, Liga Serie A yang akan dimulai pekan depan dipastikan diotaki oleh pelatih-pelatih yang belum pernah mencatatkan diri sebagai juara di tingkat domestik. AC Milan, sepeninggal Leonardo, dilatih oleh Massimiliano Allegri, yang keberhasilan terbesarnya mengantarkan klub ”gurem” Cagliari ke zona Eropa musim lalu. Adapun ”Sang Nyonya Besar” Juventus, yang selalu salah ditulis dengan sebutan ”Si Nyonya Tua”, kini diarsiteki Luigi Delneri yang kesuksesan terakhirnya adalah mengantarkan Sampdoria ke posisi keempat, sekaligus menembus zona Liga Champions.
Tim elite lainnya, AS Roma, kini dilatih Claudio Ranieri yang punya riwayat sangat berwarna setelah menukangi Fiorentina, Chelsea, Valencia, dan Juventus. Namun, Ranieri yang mendapat julukan pelatih ”nyaris-nyaris juara” hanya mengecap nikmat juara bersama Valencia dan Fiorentina.
Maka, sangat boleh jadi, satu-satunya pelatih yang punya sejarah gemilang di Serie A saat ini hanyalah Rafael Benitez, bos baru Internazionale, yang menggantikan posisi Mourinho. Meski kinerjanya mengecewakan bersama Liverpool pada musim lalu, Benitez pernah membawa ”The Reds” sebagai juara Eropa pada 2005 dan juara Piala FA. Sebelumnya bersama Valencia, Benitez juga menorehkan tinta emas dengan menjuarai Piala UEFA dan dua gelar Liga Spanyol. Bahkan, pada pekan- pekan pertamanya di San Siro, pria asal Spanyol ini sukses merebut Piala Super Italia setelah mengalahkan AS Roma.
Hadirnya Benitez pulalah yang membuat Liga Serie A musim ini sedikit punya harapan untuk bersaing pamor dengan Liga Inggris dan tentu saja Liga Spanyol yang kebanjiran bintang dunia, terutama dengan hadirnya Sami Khedira, Mesut Oezil, dan Mourinho di Santiago Bernabeu.
Benitez boleh dikatakan beruntung karena menangani Internazionale yang musim lalu mencatat sejarah dengan merebut treble winners. Meski kehilangan Mario Balotelli yang dibujuk Mancini hijrah ke Manchester City, Benitez mendapatkan penggantinya yang disebut-sebut bakal lebih bersinar ketimbang Zlatan Ibrahimovic, Coutinho. Di luar itu, Benitez masih punya jajaran skuad lama yang matang sejak Inter ditangani Mancini. Kesuksesan terbesarnya ialah mempertahankan Douglas Maicon yang banyak diincar klub-klub elite Eropa.
Sekali lagi, Internazionale akan menjadi favorit terkuat di Serie A, sementara tim-tim lain mencoba menahan laju Nerazzurri dalam mengoleksi trofi. Peringkat kedua musim lalu, AS Roma, sedikit melakukan perjudian dengan merekrut bintang penuh problem, Adriano. Meski masih punya Daniele De Rossi dan Francesco Totti, peluang ”Pasukan Serigala” musim ini masih tidak lebih baik ketimbang musim lalu.
AC Milan tampaknya juga masih harus menyimpan ambisinya untuk kembali menjadi penguasa Italia. Kehadiran Allegri memang memberikan harapan, tetapi dari sisi skuad, tampaknya mereka masih bertumpu pada pasukan tua yang diwakili oleh Clarence Seedorf, Alessandro Nesta, Gennaro Gattuso, dan Andrea Pirlo. Sejumlah pemain muda memang didatangkan, seperti Kevin- Prince Boateng dan Sokratis Papastathopoulos, tetapi tampaknya belum bisa banyak menolong.
Ditulis oleh: ANTON SANJOYO
Sumber: KOMPAS CETAK
No comments:
Post a Comment