Jangan pernah membangunkan singa yang sedang tidur. Sebab akan lebih buas ketimbang saat singa itu terjaga. Istilah tadi layak disematkan untuk kisah dari film yang berjudul John Wick ini. Filmnya sendiri menceritakan tentang seorang pembunuh bayaran profesional bernama John Wick yang pensiun karena ingin serius menjalani kehidupan sebagaimana mestinya dengan sang istri. Namun suatu saat, si istri meninggal karena kanker. Tinggallah John Wick menyendiri. Saat berada dalam lorong ketidakjelasan dalam hidupnya, muncul secercah harapan. Yaitu berupa seekor anak anjing yang ternyata pemberian istrinya sebelum meninggal, namun dititipkan ke orang lain. Hari-hari John Wick dilalui dengan ceria bersama anjing kesayangannya yang lucu itu. Namun nahas, pada suatu kejadian anjing tersebut tewas dibunuh oleh seorang pemuda bernama Iosef Tarasov. Selain membunuh hewan itu, ia juga mengambil mobil Mustang kesayangan John Wick. Dari sinilah cerita mulai bergerak. John Wick merasa hidup tenangnya telah diusik. Amarahnya tak terbendungkan lagi. Mata harus dibalas dengan mata. Nyawa seekor anjing tetap harus dibayar dengan nyawa manusia. Insting membunuhnya kembali bergelora. Dengan berbekal perasaan dendam yang memuncak, John mulai mencari Iosef Tarasov yang tak lain nantinya adalah putra semata wayang dari Viggo Taraso, bos mafia Rusia, yang sempat menjadi kolega John Wick. Berhasilkah John Wick menyelesaikan ambisinya itu seorang diri?
Secara garis besar, bisa saya katakan bahwa film ini sebenarnya sangat sederhana dan singkat, namun padat sekali. Sangat intens mulai dari awal hingga akhir. Tidak ada adegan-adegan yang mubazir. Semua sesuai dengan kebutuhannya. Filmnya juga cukup asyik dan gampang dinikmati serta memberi hiburan yang luar biasa kepada penonton. John Wick penuh dengan adegan aksi. Baik itu adegan tembak-tembakan dan adegan laga. Menampilkan koreografi yang cadas dan brutal layaknya film The Raid: Berandal. Tanpe bertele-tele dan banyak cingcong langsung main hajar, hantam sana sini, tusuk secara membabi buta serta jedar jedor tanpa basa-basi. Darah dimana-mana. Wajar bila John Wick diberi rating R, yang berarti hanya bisa dikonsumsi oleh orang dewasa saja.
Keanu Reeves, seorang aktor kharismatik yang memerankan John Wick, secara usia bisa dibilang sudah mulai uzur. Tahun ini ia berumur 50 tahun. Namun semua adegan aksi yang dia lakukan dalam film ini sangat tidak menggambarkan usianya tersebut. Ia masih bisa bergerak lincah melakukan semua adegan aksi tanpa canggung maupun kaku. Luwes. Baik itu menggunakan senjata sampai dengan hand-to-hand combat.
Sangat direkomendasikan buat kalian yang memang pecinta murni adegan aksi penuh dengan kekerasan yang stylish dan berseni. Atas nama pendapat pribadi, film ini saya beri rating 8/10. Memukau!
Film yang bernuansa gelap dan sedikit suram ini memakan durasi kurang lebih 2 jam. Disutradarai oleh David Leitch dan Chad Stahelski. Mulai tayang midnight di Indonesia pada tanggal 25 Oktober kemarin dan tayang secara reguler di bioskop per tanggal 27 Oktober. So, what do you waiting for? Enjoy the movie then.
Tuesday, October 28, 2014
Saturday, October 25, 2014
FURY
Fury, sebuah film arahan dari sutradara David Ayer (sempat dikenal dengan karya filmnya berjudul Training Day) yang mengambil kisah dari peristiwa menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Berlatar pada tahun 1945 saat pasukan Amerika Serikat melawan Schutzstaffel (disebut juga SS, merupakan pasukan elit Nazi) di Jerman. Film ini dibintangi oleh aktor tampan yang baru saja resmi menikahi Angelina Jolie, yaitu Brad Pitt (sebagai Don "Wardaddy Collier). Selain Pitt, juga hadir beberapa aktor lainnya yang cukup mumpuni di dalam dunia akting. Seperti Shia LaBeouf (sebagai Boyd “Bible” Swan), Michael Pena (sebagai Trini “Gordo” Garcia), Jon Bernthal (sebagai Grady “Coon-Ass” Travis) dan Logan Lerman (sebagai Norman “Machine” Ellison). Fury rilis di Indonesia sejak tanggal 21 Oktober 2014 kemarin.
Film ini mengisahkan tentang sebuah tim yang mengendarai tank perang. Tank tersebut bernama Fury. Dimana Wardaddy menjadi komandannya dengan pangkat sersan. Dari kokpit, Wardaddy bertugas mengatur dan mengomandoi tank tersebut dan memberikan perintah ke rekan-rekan yang ada di dalamnya. Pada suatu ketika, Wardaddy cs dimintai tolong untuk membantu pasukan Amerika lainnya yang membutuhkan bantuan. Setelah sampai pada sebuah tempat yang telah ditetapkan, mendadak tank terkena ranjau dan tidak dapat berjalan dengan normal lagi. Di saat itulah satu batalyon pasukan SS sedang menuju ke arah mereka. Dengan bermodalkan peralatan perang dan amunisi seadanya serta tanpa ada backup dari pasukan Amerika, kelima orang tersebut berjuang untuk mempertahankan tempat itu. Berhasilkah?
Secara keseluruhan saya menyukai film ini. Secara cerita, film yang durasinya agak lama (hampir 2,5 jam) berjalan dengan intens (sangat kuat). Sehingga tidak menyebabkan rasa jenuh atau bosan pada penonton. Sang sutradara sepertinya paham betul bagaimana memainkan alur ceritanya. Dengan pengalaman menyutradarai Training Day, alur dibuat sedemikian rupa asyiknya sehingga tercipta kesinambungan yang dinamis. Memang sih ada beberapa alur yang terkesan datar dan juga agak dipaksa untuk didramatisir, tapi bagi saya itu tidak menjadi soal.
Adegan perangnya juga oke. Apalagi perang antar tanknya itu. Dibaluti dengan spesial efek dan sound yang luar biasa gegap gempita. Desingan-desingan peluru dan bom terdengar dengan jelas dan dahsyat. Ditambah lagi dengan pemandangan dan situasi yang dibuat secara nyata, menambah kesan betapa suramnya yang namanya perang itu. Lihat saja bagaimana onggokan daging dan darah manusia beberapa kali sempat menghiasi layar film. Yang tidak tahan mungkin akan sedikit merasakan ngilu.
Apa yang diperagakan oleh kelima aktor keren rasanya tak perlu dipertanyakan lagi kualitasnya. Terlebih khususnya Brad Pitt. Dimana Pitt berhasil menggambarkan sosok Wardaddy yang keras, tegas, kasar, cerdas, bertangan dingin dan banyak makan garam di peperangan. Namun di sisi lain, Wardaddy adalah sosok yang emosional. Tengok saja bagaimana Wardaddy merasa kasihan terhadap dua perempuan Jerman dalam keadaan ketakutan yang ia temui. Alih-alih untuk menyiksa atau membunuh, Wardaddy justru meminta kedua orang perempuan tersebut untuk memasak telur buat santapan makan. Kredit juga layak disematkan kepada Logan Lerman. Apik dalam menokohkan seorang Norman yang masih hijau dalam peperangan.
Film ini juga menyelipkan nuansa romantis di tengah-tengah gelut perang. Bisa dijumpai saat adegan Norman memainkan piano sambil mengiringi salah satu dua perempuan Jerman tadi. Sedikit menyentuh sisi kemanusiaan.
Walaupun Fury menampilkan film perang yang terlihat sadis dan kejam, sisi humor juga bisa didapatkan di sini. Humor didapat dari aksi kocak penghuni tank Fury. Baik itu secara verbal maupun tindakan. Cukup menghibur penonton. Setidaknya mencairkan suasana yang penuh ketegangan dan kengerian.
Fury adalah gambar kekejaman perang beserta dampaknya. Membunuh bukan lagi pilihan, melainkan satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Sesuai dengan istilah yang familiar, membunuh atau dibunuh. Film ini tak melulu menghujani penonton dengan kehadiran "monster-monster" nan keji, melainkan manusia-manusia pada dasarnya dianugerahi sifat baik. Tergantung dari individunya sendiri bagaimana untuk menyikapi anugerah tersebut.
Saya memberi rating 7,5/10. Semoga berkenan.
Tambahan:
Kutipan menarik dari Wardaddy: "Ideologi penuh kedamaian. Sejarah penuh kekerasan."
Film ini mengisahkan tentang sebuah tim yang mengendarai tank perang. Tank tersebut bernama Fury. Dimana Wardaddy menjadi komandannya dengan pangkat sersan. Dari kokpit, Wardaddy bertugas mengatur dan mengomandoi tank tersebut dan memberikan perintah ke rekan-rekan yang ada di dalamnya. Pada suatu ketika, Wardaddy cs dimintai tolong untuk membantu pasukan Amerika lainnya yang membutuhkan bantuan. Setelah sampai pada sebuah tempat yang telah ditetapkan, mendadak tank terkena ranjau dan tidak dapat berjalan dengan normal lagi. Di saat itulah satu batalyon pasukan SS sedang menuju ke arah mereka. Dengan bermodalkan peralatan perang dan amunisi seadanya serta tanpa ada backup dari pasukan Amerika, kelima orang tersebut berjuang untuk mempertahankan tempat itu. Berhasilkah?
Secara keseluruhan saya menyukai film ini. Secara cerita, film yang durasinya agak lama (hampir 2,5 jam) berjalan dengan intens (sangat kuat). Sehingga tidak menyebabkan rasa jenuh atau bosan pada penonton. Sang sutradara sepertinya paham betul bagaimana memainkan alur ceritanya. Dengan pengalaman menyutradarai Training Day, alur dibuat sedemikian rupa asyiknya sehingga tercipta kesinambungan yang dinamis. Memang sih ada beberapa alur yang terkesan datar dan juga agak dipaksa untuk didramatisir, tapi bagi saya itu tidak menjadi soal.
Adegan perangnya juga oke. Apalagi perang antar tanknya itu. Dibaluti dengan spesial efek dan sound yang luar biasa gegap gempita. Desingan-desingan peluru dan bom terdengar dengan jelas dan dahsyat. Ditambah lagi dengan pemandangan dan situasi yang dibuat secara nyata, menambah kesan betapa suramnya yang namanya perang itu. Lihat saja bagaimana onggokan daging dan darah manusia beberapa kali sempat menghiasi layar film. Yang tidak tahan mungkin akan sedikit merasakan ngilu.
Apa yang diperagakan oleh kelima aktor keren rasanya tak perlu dipertanyakan lagi kualitasnya. Terlebih khususnya Brad Pitt. Dimana Pitt berhasil menggambarkan sosok Wardaddy yang keras, tegas, kasar, cerdas, bertangan dingin dan banyak makan garam di peperangan. Namun di sisi lain, Wardaddy adalah sosok yang emosional. Tengok saja bagaimana Wardaddy merasa kasihan terhadap dua perempuan Jerman dalam keadaan ketakutan yang ia temui. Alih-alih untuk menyiksa atau membunuh, Wardaddy justru meminta kedua orang perempuan tersebut untuk memasak telur buat santapan makan. Kredit juga layak disematkan kepada Logan Lerman. Apik dalam menokohkan seorang Norman yang masih hijau dalam peperangan.
Film ini juga menyelipkan nuansa romantis di tengah-tengah gelut perang. Bisa dijumpai saat adegan Norman memainkan piano sambil mengiringi salah satu dua perempuan Jerman tadi. Sedikit menyentuh sisi kemanusiaan.
Walaupun Fury menampilkan film perang yang terlihat sadis dan kejam, sisi humor juga bisa didapatkan di sini. Humor didapat dari aksi kocak penghuni tank Fury. Baik itu secara verbal maupun tindakan. Cukup menghibur penonton. Setidaknya mencairkan suasana yang penuh ketegangan dan kengerian.
Fury adalah gambar kekejaman perang beserta dampaknya. Membunuh bukan lagi pilihan, melainkan satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Sesuai dengan istilah yang familiar, membunuh atau dibunuh. Film ini tak melulu menghujani penonton dengan kehadiran "monster-monster" nan keji, melainkan manusia-manusia pada dasarnya dianugerahi sifat baik. Tergantung dari individunya sendiri bagaimana untuk menyikapi anugerah tersebut.
Saya memberi rating 7,5/10. Semoga berkenan.
Tambahan:
Kutipan menarik dari Wardaddy: "Ideologi penuh kedamaian. Sejarah penuh kekerasan."
Saturday, October 11, 2014
DRACULA UNTOLD
Singkat saja. Maklum, sedang tidak mood mengetik gegara lapar. For me, Dracula Untold was an okay movie. Saya cukup menikmatinya mulai dari detik awal hingga penghabisan. Film yang bernuansa gelap ini durasi waktunya hanya sekitar 90 menit saja. Oh iya. Di Indonesia film ini tayang sejak hari Kamis, tanggal 8 Oktober 2014 kemarin.
Filmnya sendiri perpaduan antara drama dan action. Porsi drama sedikit lebih banyak daripada aksi. Namun tenang saja. Tidak membuat penonton merasa bosan maupun jenuh. Adegan aksinya cukup mumpuni. Apalagi dikemas dengan visual efek yang apik. Pada beberapa bagian adegan aksi mampu membuat saya tertegun sembari mengucapkan kata "wow!". Salah satunya adalah aksi dimana Vlad Tepes dengan bantuan banyak kelelawar melawan ribuan pasukan secara buas dan brutal. Ups, bocor deh.
Dracula Untold mengambil sebagian kisah nyata (sisanya hanya rekaan atau fantasi) dari Vlad Tepes yang nantinya dijuluki sebagai Dracula. Melalui versi film ini juga diceritakan latar belakang kenapa Vlad harus memutuskan untuk membuat perjanjian dengan iblis (waduh, kata-katanya).
Luke Evans, aktor yang wajahnya mirip dengan Orlando Bloom dan sempat bermain di film The Hobbit: The Desolation of Smaug ini menurut saya aktingnya sudah cukup oke. Menampilkan sosok Vlad yang pemberani, tegas, tangguh, tanpa kompromi, bertanggung jawab dan peduli. Jauh dari kesan sosok vampire yg menye-menye bin galau seperti di serial film Twilight itu. Apa lo, apa loo??!!!
Scoring atau soundtrack-nya cukup oke. Serasa di zaman medieval benaran ala film Lord of the Rings. Momen yang sangat pas dengan scoring/soundtrack adalah pas adegan "romantic"-nya, yaitu saat Vlad mencoba menolong istrinya yang jatuh (dimana diambil dengan slow motion/gerak lambat, secara sayup-sayup terdengar sebuah lagu yang bergenre new age. Akan lebih bikin merinding lagi bila Enya ikut menyanyikan soundtracknya.
Terus, bagaimana dengan ending-nya? Cakep sekali! Saya suka. Selain itu juga mengajak kita untuk membayangkan seandainya Dracula itu ternyata ada di sekitar kita. Ups, bocor lagi.
Kesimpulannya, menonton film ini tidaklah perlu berekspektasi yang tinggi. Dibawa santai saja. Maka kepuasan yang akan diperoleh.
Tambahan:
Di negara Turki film ini dilarang tayang alias dibanned. Kenapa? Ya harus tonton filmnya dulu dong! *serasa jadi tim marketing-nya Dracula Untold aja deh*
Filmnya sendiri perpaduan antara drama dan action. Porsi drama sedikit lebih banyak daripada aksi. Namun tenang saja. Tidak membuat penonton merasa bosan maupun jenuh. Adegan aksinya cukup mumpuni. Apalagi dikemas dengan visual efek yang apik. Pada beberapa bagian adegan aksi mampu membuat saya tertegun sembari mengucapkan kata "wow!". Salah satunya adalah aksi dimana Vlad Tepes dengan bantuan banyak kelelawar melawan ribuan pasukan secara buas dan brutal. Ups, bocor deh.
Dracula Untold mengambil sebagian kisah nyata (sisanya hanya rekaan atau fantasi) dari Vlad Tepes yang nantinya dijuluki sebagai Dracula. Melalui versi film ini juga diceritakan latar belakang kenapa Vlad harus memutuskan untuk membuat perjanjian dengan iblis (waduh, kata-katanya).
Luke Evans, aktor yang wajahnya mirip dengan Orlando Bloom dan sempat bermain di film The Hobbit: The Desolation of Smaug ini menurut saya aktingnya sudah cukup oke. Menampilkan sosok Vlad yang pemberani, tegas, tangguh, tanpa kompromi, bertanggung jawab dan peduli. Jauh dari kesan sosok vampire yg menye-menye bin galau seperti di serial film Twilight itu. Apa lo, apa loo??!!!
Scoring atau soundtrack-nya cukup oke. Serasa di zaman medieval benaran ala film Lord of the Rings. Momen yang sangat pas dengan scoring/soundtrack adalah pas adegan "romantic"-nya, yaitu saat Vlad mencoba menolong istrinya yang jatuh (dimana diambil dengan slow motion/gerak lambat, secara sayup-sayup terdengar sebuah lagu yang bergenre new age. Akan lebih bikin merinding lagi bila Enya ikut menyanyikan soundtracknya.
Terus, bagaimana dengan ending-nya? Cakep sekali! Saya suka. Selain itu juga mengajak kita untuk membayangkan seandainya Dracula itu ternyata ada di sekitar kita. Ups, bocor lagi.
Kesimpulannya, menonton film ini tidaklah perlu berekspektasi yang tinggi. Dibawa santai saja. Maka kepuasan yang akan diperoleh.
Tambahan:
Di negara Turki film ini dilarang tayang alias dibanned. Kenapa? Ya harus tonton filmnya dulu dong! *serasa jadi tim marketing-nya Dracula Untold aja deh*
Friday, October 03, 2014
ANNABELLE
Review singkat film Annabelle (tayang di Indonesia mulai tanggal 1 Oktober 2014 kemarin). Murni pendapat pribadi. Jangan merasa terintimidasi dan jangan langsung percaya dengan apa yang saya ungkapkan di sini. Tonton saja dulu filmnya. Sebab yang namanya selera pasti berbeda tiap orangnya.
Well, wajar bila orang-orang membandingkan film Annabelle ini dengan film The Conjuring (film horor terbaik tahun kemarin) dan berharap filmnya bagus. Selain Annabelle merupakan prekuel (atau spin-off mungkin?) dari The Conjuring, juga di dalam filmnya terdapat dua kali menggunakan salah satu cuplikan dalam film The Conjuring (pada scene pembuka dan penutup). Namun sayangnya, Annabelle masih terlalu jauh kualitasnya di bawah The Conjuring. Apalagi bila disandingkan dengan Insidious, film yang sempat membuat saya trauma untuk tidur dalam keadaaan gelap.
Film Annabelle yang berdurasi kurang lebih 90 menit ini tidak disutradarai oleh James Wan, yang merupakan sutradara dari The Conjuring. James Wan kali ini cukup duduk nyaman sebagai produser. Sutradara Annabelle adalah John R. Leonetti. Di tangan John R. Leonetti, sangat terlihat sekali ia lebih mengutamakan sisi drama ketimbang horornya. Hal inilah yang membuat Annabelle menjadi film horor yang biasa-biasa saja. Dialognya tidak bisa dipungkiri memang cukup banyak. Selain itu juga alur ceritanya berjalan lambat. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Hingga kurang mampu membawa klimaks. Kondisi yang sangat berbahaya sekali sebab bisa mendatangkan rasa jenuh atau bosan pada penonton. Untuk endingnya, dengan terpaksa saya bilang kurang greget dan memuaskan.
Di balik beberapa adegan yang terkesan klise, Annabelle beberapa kali menawarkan adegan yang cukup baru dan segar. Salah satunya yang di elevator itu. Memberikan kesuraman dan ketakutan tersendiri. Hiiii....
Secara keseluruhan, Annabelle bukanlah sebuah film horor bagus, tapi juga tidaklah jelek-jelek amat. Bila ditanya rating, saya beri 6/10. Silakan ditonton. Ajak sahabat atau keluarga dan silakan berteriak sekencang-kencangnya.
Tambahan: Pesan terselubung dari film ini adalah: JANGAN BELI BONEKA!
Well, wajar bila orang-orang membandingkan film Annabelle ini dengan film The Conjuring (film horor terbaik tahun kemarin) dan berharap filmnya bagus. Selain Annabelle merupakan prekuel (atau spin-off mungkin?) dari The Conjuring, juga di dalam filmnya terdapat dua kali menggunakan salah satu cuplikan dalam film The Conjuring (pada scene pembuka dan penutup). Namun sayangnya, Annabelle masih terlalu jauh kualitasnya di bawah The Conjuring. Apalagi bila disandingkan dengan Insidious, film yang sempat membuat saya trauma untuk tidur dalam keadaaan gelap.
Film Annabelle yang berdurasi kurang lebih 90 menit ini tidak disutradarai oleh James Wan, yang merupakan sutradara dari The Conjuring. James Wan kali ini cukup duduk nyaman sebagai produser. Sutradara Annabelle adalah John R. Leonetti. Di tangan John R. Leonetti, sangat terlihat sekali ia lebih mengutamakan sisi drama ketimbang horornya. Hal inilah yang membuat Annabelle menjadi film horor yang biasa-biasa saja. Dialognya tidak bisa dipungkiri memang cukup banyak. Selain itu juga alur ceritanya berjalan lambat. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Hingga kurang mampu membawa klimaks. Kondisi yang sangat berbahaya sekali sebab bisa mendatangkan rasa jenuh atau bosan pada penonton. Untuk endingnya, dengan terpaksa saya bilang kurang greget dan memuaskan.
Di balik beberapa adegan yang terkesan klise, Annabelle beberapa kali menawarkan adegan yang cukup baru dan segar. Salah satunya yang di elevator itu. Memberikan kesuraman dan ketakutan tersendiri. Hiiii....
Secara keseluruhan, Annabelle bukanlah sebuah film horor bagus, tapi juga tidaklah jelek-jelek amat. Bila ditanya rating, saya beri 6/10. Silakan ditonton. Ajak sahabat atau keluarga dan silakan berteriak sekencang-kencangnya.
Tambahan: Pesan terselubung dari film ini adalah: JANGAN BELI BONEKA!
Subscribe to:
Posts (Atom)