Pendekar Tongkat Emas adalah sebuah film Indonesia yang rilis tanggal 18 Desember 2014 kemarin. Disutradarai oleh sutradara ternama Ifa Isfansyah, yang juga sempat menangani film berjudul Sang Penari (banyak menerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia 2011 lalu). Dengan diproduseri oleh dua orang sineas yang tidak asing lagi di dunia perfilman Indonesia, yaitu Mira Lesmana dan Riri Riza, dan juga didukung dengan dana yang menembus angka 25 milyar, seharusnya film yang bertema silat ini bisa berbicara banyak. Sayang, hal itu tidak terlalu terwujud. Tanggung.
Pendekar Tongkat Emas yang berdurasi hampir 2 jam pas secara cerita bisa dibilang sederhana. Tidak terdapat twist atau plot-plot emosional ataupun yang menghasilkan konflik berarti. Mengalir polos apa adanya. Alur dan frame rate-nya agak lambat. Beresiko membuat penonton merasa jenuh. Untung saja sutradaranya jeli dengan memasukkan beberapa adegan laga pada waktu-waktu tertentu agar suasana kembali "ramai".
Berbicara soal adegan laga, menurut saya sudah oke. Koreografinya cakep (khususnya di scene terakhir). Yang mengganggu mungkin adalah gerakan-gerakan dari para aktor yang masih kaku dan janggal. Bisa dimaklumi karena nama-nama seperti Eva Celia, Nicholas Saputra, Reza Rahadian dan Tara Basro bukanlah pemain film yang memiliki basic ilmu bela diri. Oh iya. Adegan laganya menggunakan "shaky cam". Saya kurang terlalu suka dengan teknik beginian. Pusing.
Di balik hal itu semua, film ini memiliki daya tarik sendiri. Yaitu bagaimana keindahan landscape pulau Sumba (Nusa Tenggara Timur) yang eksotis itu dieksploitasi dengan suksesnya melalui bidikan-bidikan kamera. Selain keindahannya, kebudayaan pulau Sumba juga turut diperkenalkan kepada para penonton. Tentunya ini bisa masuk dalam upaya mempromosikan pariwisata Indonesia yang sebetulnya masih memiliki banyak tempat indah lainnya yang belum terjamahi.
Scoring yang dikoordinir oleh Erwin Gutawa juga oke. Memadukan antara aransemen tradisional dan orkestra. Menjadikan sebuah kontribusi yang istimewa untuk filmnya.
Pendekar Tongkat Emas mungkin bisa dibilang film yang kurang greget dan seharusnya memang bisa lebih bagus lagi. Namun apa yang dilakukan oleh Mira Lesmana dan Riri Riza ini sudah cukup untuk menghidupkan kembali film-film bergenre seperti ini. Mengingat bahwa Indonesia pada dua dekade silam sempat berjaya dengan film-film silat klasiknya. Masih ingat dengan Si Buta Dari Gua Hantu? Panji Tengkorak? Jaka Sembung?
So, dilihat aja ke depannya nanti bagaimana.
6,5/10.
Sunday, December 21, 2014
Saturday, December 20, 2014
THE HOBBIT: THE BATTLE OF THE FIVE ARMIES
Film The Hobbit: The Battle of the Five Armies tayang serentak di Indonesia per tanggal 17 Desember 2014 kemarin. Well, menurut saya filmnya bagus. Bisa dibilang ini merupakan seri penutup yang sempurna untuk kisah petualangan si hobbit kecil, Bilbo Baggins (Martin Freeman), dalam misinya menemani para dwarf (kurcaci) yang dikomandoi oleh Thorin Oakenshield untuk merebut kembali Erebor dari sang naga api bernama Smaug.
Tanpa perlu berlama-lama atau sekedar basa-basi lagi, begitu filmnya dimulai sang sutradara, Peter Jackson (yang sempat menangani trilogi Lord of the Rings dan King Kong itu), langsung melancarkan tensi film dengan adegan aksi yang dapat membuat penonton untuk sejenak menahan nafas. Yaitu saat Smaug yang sudah diliputi dengan amarahnya menyerang serta membakar habis Lake City sampai tak berbentuk lagi hanya dengan semburan nafas apinya. Pada nantinya Smaug dapat dikalahkan oleh aksi heroik Bard the Bowman (Luke Evans). Sangat disayangkan penampilan Smaug di film ini hanya sebentar saja.
Berhubung ini seri pamungkas, otomatis selama 2,5 jam durasi film sebagian besar diisi dengan menampilkan adegan pertempuran habis-habisan yang memanjakan penonton. Apalagi ketika lima pasukan besar mulai saling serang. Menyuguhkan scene perang dengan CGI apik dan spesial efek yang super top notch. Walaupun menurut saya scene perang dalam film ini tidak se-epik Lord of the Rings: The Two Towers (ingat dengan Battle of Haalm's Deep?) maupun Lord of the Rings: Return of the King (ingat Battle of Osgiliath?), Peter Jackson dengan jenius berhasil memberikan sinematografi laga yang memukau.
Berbeda dengan dua buah seri The Hobbit sebelumnya, yaitu An Unexpected Journey dan The Desolation of Smaug, kali ini persoalan dalam cerita justru datang dari Thorin (bukan lagi Bilbo) yang mengalami konflik dalam batinnya. Thorin digambarkan terbuai dengan bergelimangnya emas dan harta sehingga sedikit menggangu pikiran dan jiwanya. Hal ini menyebabkan terjadinya perselisihan yang tidak hanya kepada sahabat-sahabatnya, tetapi juga kepada lainnya. Seperti Bard, Gandalf (Ian McKellen) bahkan Thranduil (Lee Pace). Kredit diberikan kepada Richard Armitage (yang memerankan Thorin) karena berhasil menokohkan Thorin yang memiliki dua sisi berbeda, yaitu Thorin yag baik dan Thorin yang memiliki spektrum jahat.
Di sisi lain dari kisah pertempuran yang ada di film ini, The Battle of the Five Armies menawarkan kisah romantis antara she-elf Tauriel (diperankan oleh Evangeline Lilly) dan dwarf Kili (diperankan oleh Aidan Turner). Satu-satunya bumbu asmara yang ada dalam film ini nantinya akan berakhir pada suatu kejadian yang sungguh membuat penonton terharu atau mungkin meneteskan air mata. Tidak ketinggalan pula sosok Legolas yang luar biasa sekali kharismanya melalui akting dari seorang Orlando Bloom masih menambah daya tarik tersendiri bagi The Battle of the Five Armies.
Daya tarik lainnya yang juga menjadi scene favorit saya di film ini adalah munculnya tokoh-tokoh besar dan penting dalam kisah Lord of the Rings. Yakni saat mencoba memberikan pertolongan kepada Mithrandir alias Gandalf yang ditawan oleh Sauron. Tokoh-tokoh yang hadir tersebut antara lain adalah Lady Galadriel, Saruman the White (yang nantinya justru mengabdi pada Sauron) dan Elrond (haf-elf yang merupakan ayah dari Arwen, dimana nantinya Arwen menjadi istri dari Aragorn raja Gondor).
Saya merekomendasikan kepada kalian untuk menonton The Battle of the Five Armies dalam format 3D. Sebab akan memberikan pengalaman menonton yang "wah". Efek 3D-nya sangat terasa sekali. Seakan-akan keluar dari layar bioskop. Menonton format 3D dengan kualitas studio yang butut seperti di Palangka Raya sini saja sudah oke, apalagi bila menonton dalam studio yang kualitas serta teknologi 3D-nya lebih canggih, bahkan mampu memainkan format 3D HFR ataupun IMAX. Dijamin tak menyesal. Dapat saya katakan bahwa The Battle of the Five Armies adalah salah satu film dengan format 3D terbaik yang pernah saya tonton. Silakan buktikan sendiri bila tak percaya.
The Battle of the Five Armies yang awalnya diberi sub-judul There and Back Again ini dari segi cerita terasa biasa-biasa saja. Namun penyutradaraan dan visualnya oke banget. So, untuk film ini saya beri rating 8/10.
Semoga berkenan.
"If this is love, I don't want it. Take it away, please! Why does it hurt so much?" - Tauriel
Tanpa perlu berlama-lama atau sekedar basa-basi lagi, begitu filmnya dimulai sang sutradara, Peter Jackson (yang sempat menangani trilogi Lord of the Rings dan King Kong itu), langsung melancarkan tensi film dengan adegan aksi yang dapat membuat penonton untuk sejenak menahan nafas. Yaitu saat Smaug yang sudah diliputi dengan amarahnya menyerang serta membakar habis Lake City sampai tak berbentuk lagi hanya dengan semburan nafas apinya. Pada nantinya Smaug dapat dikalahkan oleh aksi heroik Bard the Bowman (Luke Evans). Sangat disayangkan penampilan Smaug di film ini hanya sebentar saja.
Berhubung ini seri pamungkas, otomatis selama 2,5 jam durasi film sebagian besar diisi dengan menampilkan adegan pertempuran habis-habisan yang memanjakan penonton. Apalagi ketika lima pasukan besar mulai saling serang. Menyuguhkan scene perang dengan CGI apik dan spesial efek yang super top notch. Walaupun menurut saya scene perang dalam film ini tidak se-epik Lord of the Rings: The Two Towers (ingat dengan Battle of Haalm's Deep?) maupun Lord of the Rings: Return of the King (ingat Battle of Osgiliath?), Peter Jackson dengan jenius berhasil memberikan sinematografi laga yang memukau.
Berbeda dengan dua buah seri The Hobbit sebelumnya, yaitu An Unexpected Journey dan The Desolation of Smaug, kali ini persoalan dalam cerita justru datang dari Thorin (bukan lagi Bilbo) yang mengalami konflik dalam batinnya. Thorin digambarkan terbuai dengan bergelimangnya emas dan harta sehingga sedikit menggangu pikiran dan jiwanya. Hal ini menyebabkan terjadinya perselisihan yang tidak hanya kepada sahabat-sahabatnya, tetapi juga kepada lainnya. Seperti Bard, Gandalf (Ian McKellen) bahkan Thranduil (Lee Pace). Kredit diberikan kepada Richard Armitage (yang memerankan Thorin) karena berhasil menokohkan Thorin yang memiliki dua sisi berbeda, yaitu Thorin yag baik dan Thorin yang memiliki spektrum jahat.
Di sisi lain dari kisah pertempuran yang ada di film ini, The Battle of the Five Armies menawarkan kisah romantis antara she-elf Tauriel (diperankan oleh Evangeline Lilly) dan dwarf Kili (diperankan oleh Aidan Turner). Satu-satunya bumbu asmara yang ada dalam film ini nantinya akan berakhir pada suatu kejadian yang sungguh membuat penonton terharu atau mungkin meneteskan air mata. Tidak ketinggalan pula sosok Legolas yang luar biasa sekali kharismanya melalui akting dari seorang Orlando Bloom masih menambah daya tarik tersendiri bagi The Battle of the Five Armies.
Daya tarik lainnya yang juga menjadi scene favorit saya di film ini adalah munculnya tokoh-tokoh besar dan penting dalam kisah Lord of the Rings. Yakni saat mencoba memberikan pertolongan kepada Mithrandir alias Gandalf yang ditawan oleh Sauron. Tokoh-tokoh yang hadir tersebut antara lain adalah Lady Galadriel, Saruman the White (yang nantinya justru mengabdi pada Sauron) dan Elrond (haf-elf yang merupakan ayah dari Arwen, dimana nantinya Arwen menjadi istri dari Aragorn raja Gondor).
Saya merekomendasikan kepada kalian untuk menonton The Battle of the Five Armies dalam format 3D. Sebab akan memberikan pengalaman menonton yang "wah". Efek 3D-nya sangat terasa sekali. Seakan-akan keluar dari layar bioskop. Menonton format 3D dengan kualitas studio yang butut seperti di Palangka Raya sini saja sudah oke, apalagi bila menonton dalam studio yang kualitas serta teknologi 3D-nya lebih canggih, bahkan mampu memainkan format 3D HFR ataupun IMAX. Dijamin tak menyesal. Dapat saya katakan bahwa The Battle of the Five Armies adalah salah satu film dengan format 3D terbaik yang pernah saya tonton. Silakan buktikan sendiri bila tak percaya.
The Battle of the Five Armies yang awalnya diberi sub-judul There and Back Again ini dari segi cerita terasa biasa-biasa saja. Namun penyutradaraan dan visualnya oke banget. So, untuk film ini saya beri rating 8/10.
Semoga berkenan.
"If this is love, I don't want it. Take it away, please! Why does it hurt so much?" - Tauriel
Thursday, December 11, 2014
EXODUS: GODS AND KINGS
Jujur, awalnya saya sedikit was-was bahwa film ini bisa tayang di
Indonesia mengingat Noah yang tempo hari gagal tayang karena diprotes
habis-habisan oleh suatu pihak yang berujung pada pencekalan. Syukurlah rasa was-was itu sirna. Sejak hari Rabu per tanggal 10 Desember 2014 kemarin Exodus: Gods and Kings sukses
tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia. Apa mungkin karena judulnya begitu hingga
tidak tahu bahwa ini film tentang Musa? Bagaimana jika seandainya memakai
judul Moses? Nah lo. Apapun itu, tetap harus disyukuri.
Seperti yang sudah diketahui bersama, film ini (tentu saja)
menceritakan tentang perjuangan seorang Musa untuk membebaskan
bangsanya, dalam hal ini bangsa Israel, dari penindasan dan perbudakan
oleh bangsa Mesir yang telah berjalan selama 400 tahun lebih. Sang
sutradara, Ridley Scott (salah satu sutradara favoritku yang film
Gladiator-nya sempat meraih penghargaan sebagai film terbaik dalam ajang
Piala Oscar tahun 2000 silam) mengambil pendekatan yang
berbeda dibandingkan dengan film-film tentang Musa lainnya yang pernah
ada. Scott mencoba menggambarkan filmnya dengan lebih logis, ilmiah dan
akurat. Dan menurut saya itu berhasil. Contohnya bisa dilihat pada
bagian penting dalam kisah ini, yaitu kesepuluh tulah dan peristiwa
menyeberangi Laut Merah. Dapat diterima nalar. Apalagi adegan membelah
Laut Merah-nya tidak terkesan lebay.
Di film ini sebenarnya banyak pemain bagus. Salah satunya
aktor watak Ben Kingsley. Entah kenapa mereka hanya diberi porsi yang
sedikit. Otomatis dalam film ini kita menyaksikan one man show-nya
Christian Bale, seorang aktor yang namanya makin melejit berkat perannya sebagai Batman/Bruce Wayne pada trilogi The Dark Knight. Akting Bale
cukup oke dan mumpuni dalam memerankan tokoh Musa yang sedang berproses
untuk menyakini Tuhan dan juga mencoba percaya bahwa hanya dirinya sendirilah
yang sanggup memberikan kebebasan pada bangsa Israel. Oh iya, demi
perannya ini Bale dikatakan sampai membaca beberapa kitab-kitab yang ada
mengisahkan tentang Musa. Termasuk itu Alkitab (Bible) maupun Alquran.
Bahkan Bale juga sampai ikut Sekolah Minggu. Gokil! Selain Bale, kredit
menurut saya juga layak disematkan kepada Joel Edgerton yang berperan
apik sebagai Ramses.
Exodus: Gods and Kings menawarkan spesial efek yang
memukau. Puncaknya bisa dilihat pada saat di Laut Merah. Seandainya
menonton di bioskop yang memiliki kualitas 3D bagus mungkin bisa ikut
mwrasakan betapa dahsyatnya air laut yang deras itu. Selain visual efek,
make up artist dan kostum juga oke banget di film ini. Tidak
ketinggalan scoring yang tampil membahana. Apalagi tak jarang diselipin
dengan irama-irama khas timur tengah yang unik dan khas itu.
Anyway, menonton film ini anggap saja sebagai hiburan. Jangan
terlalu dibawa serius ke agamanya masing-masing. Jangan juga berharap
akan sama persis alurnya dengan kitab-kitab suci. Pokoknya dinikmati
saja apa adanya.
Salah satu yang menjadi pro-kontra dalam film ini mungkin
adalah penggambaran Tuhan yang berupa seorang anak kecil. Sebenarnya ini
tak perlu dipersoalkan. Toh ini hanya persepsi dari sutradaranya saja.
Masih ingat dengan film Bruce Almighty yang dibintangi oleh Jim Carrey?
Dimana di film itu Tuhan digambarkan dengan seorang pria tua berkulit
hitam yang diperankan oleh Morgan Freeman? Apa tidak lebih kontroversial
lagi tuh? Hehe.
Akhir kata, Exodus: Gods and Kings menurut saya fine-fine
aja filmnya. Oke untuk ditonton. Walaupun alur dramanya terasa datar atau biasa serta kurang kolosal,
setidaknya saya tetap enjoy menikmati film yang memakan durasi sekitar
2,5 jam ini. Bukannya membandingkan, saya rasa Exodus: Gods and Kings
masih cukup oke ketimbang Noah yang menurut saya cukup "aneh" itu.
Salam.
Tambahan:
- Awalnya film ini hendak diberi judul Exodus. Berhubung sudah pernah ada film yang memakai judul ini dan juga terkendala dengan hak cipta, akhirnya ditambahlah hingga menjadi Exodus: Goda and Kings.
- Menurut saya film The Ten Commandments (rilisan tahun 1956) masih tetap menjadi film terbaik yang bercerita tentang Musa. Belum pernah menonton film tersebut? Anda rugi!
- Awalnya film ini hendak diberi judul Exodus. Berhubung sudah pernah ada film yang memakai judul ini dan juga terkendala dengan hak cipta, akhirnya ditambahlah hingga menjadi Exodus: Goda and Kings.
- Menurut saya film The Ten Commandments (rilisan tahun 1956) masih tetap menjadi film terbaik yang bercerita tentang Musa. Belum pernah menonton film tersebut? Anda rugi!
Subscribe to:
Posts (Atom)