Marvel Studio is back! Marvel Cinematic Universe (MCU) kembali bergulir dengan hadirnya sebuah franchise terbaru, yakni Doctor Strange. Ini merupakan film kedua untuk Phase III dalam alur MCU (sebelumnya Captain America: Civil War). Harus diakui Doctor Strange tidak sebeken bahkan sebesar anggota Avengers lainnya, seperti Iron Man, Captain America, Hulk, Thor dll. Namun Doctor Strange memberikan warna dan keunikan tersendiri. Berbeda dengan film-film Marvel seperti biasanya, Doctor Strange penuh dengan nuansa mistis, sihir serta spiritual. Hal yang berbeda inilah yang justru menjadi daya tarik tersendiri.
Sesuai prediksi, visualnya memang luar biasa. Bahkan spesial efeknya bisa dikatakan top notch. Doctor Strange sangat direkomendasikan sekali untuk ditonton versi 3D-nya. Sayangnya, bioskop sini tak memiliki fitur untuk menayangkan 3D. Untuk aksinya terbilang cukup seru, walaupun sebenarnya masih agak kurang greget. Tapi pertarungan sambil merapal mantera setidaknya dapat memberikan keasyikan tersendiri bagi penonton. Alur ceritanya sendiri mengalir dengan cukup cepat dan gampang dimengerti. Beberapa filosofi yang disisipkan dalam ceritanya bagi sebagian penonton mungkin agak susah dipahami. Tapi secara umum penyajiannya cukup sederhana serta pas, terlebih-lebih untuk memperkenalkan siapa itu Doctor Strange. Yang menjadi kritik mungkin villain yang kurang berbobot serta cara penyelesaian pada klimaks film yang kurang bagus dan berkesan. Yang menjadi poin tambahan dari film ini adalah penempatan jokes-nya yang tepat. Tak ayal sesekali mampu memuat penonton tertawa lepas.
Untuk casting, sepertinya sudah tepat. Siapa yang berani meragukan aktor sekelas Oscar seperti Benedict Cumberbatch. Juga aktris cantik Rachel McAdams. Terutama aktris senior Tilda Swinton yang berhasil memerankan sosok The Ancient One yang agung dan penuh karisma. Tak bisa ditampik ini merupakan garapan yang apik dari sang sutradara Scott Derrickson, dimana sineas ini sebenarnya lebih berpengalaman dalam menyutradarai film horor. Karya-karyanya bisa dilihat pada Sinister, Deliver Us from Evil hingga The Exorcism of Emily Rose.
Doctor Strange memang tidak bisa juga dikatakan sebagai film luar biasa. Namun yang pasti film ini bisa dibilang sudah memiliki pondasi yang solid dan bagus untuk menuju kelanjutan atau sekuelnya nanti. Menyaksikan Doctor Strange ibarat perpaduan antara film Iron Man, Harry Potter dan Inception. Masih ragu untuk menontonnya?
7/10
Tambahan:
Ada dua buah ending tambahan (mid-credit & post-credit scene) setelah filmnya selesai. So, jangan beranjak pulang dulu. Apalagi ending bagian pertama sangat worth banget buat disimak. Ada cameo anggota Avengers serta sedikit cerita untuk kontinuitas film-film Phase III Marvel Cinematic Universe.
Wednesday, October 26, 2016
Sunday, October 23, 2016
Sebagai Narasumber di Sebuah Forum Diskusi
Saat forum diskusi dengan tema "Diseminasi Informasi Lingkungan untuk Generasi Muda Kalimantan Tengah" dalam event bertajuk Pemuda Bicara: Untuk Lingkungan, Budaya dan Siaga Bencana Kalimantan Tengah yang diadakan pada hari Minggu, 16 Oktober 2016 lalu, di Gedung KONI Jl. Cilik Riwut Palangka Raya.
Pada foto saya yang mengenakan kemeja biru. Saya hadir sebagai narasumber mewakili akun medsos @infoplk. Di sebelah kanan saya berturut-turut adalah Haris Sadikin (PWI Kalimantan Tengah), Rohansyah (Pemimpin Redaksi Kalteng Pos) dan Ridzki R. Sigit (Direktur Mongabay Indonesia) selaku moderator.
Agak getir juga duduk bersama narasumber yang merupakan orang-orang penting. Sedangkan saya cuma apalah gitu. Hahaha.
Pada foto saya yang mengenakan kemeja biru. Saya hadir sebagai narasumber mewakili akun medsos @infoplk. Di sebelah kanan saya berturut-turut adalah Haris Sadikin (PWI Kalimantan Tengah), Rohansyah (Pemimpin Redaksi Kalteng Pos) dan Ridzki R. Sigit (Direktur Mongabay Indonesia) selaku moderator.
Agak getir juga duduk bersama narasumber yang merupakan orang-orang penting. Sedangkan saya cuma apalah gitu. Hahaha.
Friday, October 21, 2016
Wildlife Photographer of the Year 2016
Sebuah
foto yang dijepret oleh Tim Laman, seorang fotografer asal Amerika
Serikat berhasil meraih penghargaan tertinggi dalam kompetisi foto
Wildlife Photographer of the Year 2016. Objeknya adalah seekor orangutan yang sedang memanjat pohon di kawasan Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat.
Entah bagaimana cara sang fotografer mendapatkan foto dengan kualitas luar biasa seperti ini. Apakah menggunakan alat bantu drone atau yang lainnya. Yang pasti foto ini memang layak mendapatkan predikat foto terbaik.
Entah bagaimana cara sang fotografer mendapatkan foto dengan kualitas luar biasa seperti ini. Apakah menggunakan alat bantu drone atau yang lainnya. Yang pasti foto ini memang layak mendapatkan predikat foto terbaik.
Wednesday, October 19, 2016
JACK REACHER: NEVER GO BACK
Jack Reacher kembali hadir pada sekuelnya kali ini yang mengambil sub-judul Never Go Back. Dimana film terdahulunya tayang tahun 2012 lalu. Tom Cruise,
aktor tampan yang sudah mulai termakan usia, kembali hadir untuk
memerankan Jack Reacher, seorang mantan polisi militer penuh penghargaan
yang tidak memiliki apa-apa (homeless). Walaupun sudah tidak
aktif lagi di militer, Jack kerap dimintai bantuan untuk mengusut suatu
kasus. Premis sekuelnya kali ini adalah ia diminta kembali ke markas.
Namun di sana ia dituduh terlibat atas pembunuhan yang terjadi 16 tahun
silam. Maka dimulailah aksi Jack untuk mengungkap kebenaran dibalik
konspirasi pemerintah. Di luar dugaan, dalam pelariannya Jack akan
berurusan dengan sesuatu yang menyangkut masa lalunya.
Bila dibandingkan dengan film pertamanya, dimana lebih berfokus pada kemampuan Jack menyelidiki dan menggali sebuah kejadian, sekuelnya kali ini lebih mengedepankan sisi aksi (action) dan kemampuan fisiknya. Aksinya berupa kelahi tangan kosong dan senjata cenderung keras. Mungkin akan mengakibatkan rasa ngilu bagi sebagian penonton. Ceritanya minim kejutan, namun tetap berjalan intens sampai akhir. Unsur dramanya sedikit terasa dengan adanya seorang tokoh yang memiliki hubungan spesial dengan Jack. Kehadiran Cobie Smulders (berperan sebagai Susan Turner) dinilai sangat berhasil dan memberikan warna baru pada filmnya. Karena kehadirannya tidak hanya sebagai pelengkap, tapi juga mampu mengimbangi Jack dalam sisi aksi dan deduksi. Percaya deh, kalian bakal jatuh cinta sama karakter yang satu ini. Sama seperti terdahulunya juga, film yang kurang lebih berdurasi 2 jam ini sesekali menampilkan kelucuan-kelucuan yang segar.
Jack Reacher: Never Go Back sendiri disutradarai oleh Edward Zwick, yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan Tom Cruise pada film The Last Samurai. Film ini juga merupakan adaptasi dari versi novel (seri ke 18) buah karya dari Lee Child.
Secara keseluruhan, bagi saya Jack Reacher: Never Go Back cukup menghibur. Adegan aksinya entah kenapa mengingatkan saya dengan film-film aksi tahun '90-an. Tidak bertele-tele dan tepat ke sasaran. Enjoy then.
7/10
Bila dibandingkan dengan film pertamanya, dimana lebih berfokus pada kemampuan Jack menyelidiki dan menggali sebuah kejadian, sekuelnya kali ini lebih mengedepankan sisi aksi (action) dan kemampuan fisiknya. Aksinya berupa kelahi tangan kosong dan senjata cenderung keras. Mungkin akan mengakibatkan rasa ngilu bagi sebagian penonton. Ceritanya minim kejutan, namun tetap berjalan intens sampai akhir. Unsur dramanya sedikit terasa dengan adanya seorang tokoh yang memiliki hubungan spesial dengan Jack. Kehadiran Cobie Smulders (berperan sebagai Susan Turner) dinilai sangat berhasil dan memberikan warna baru pada filmnya. Karena kehadirannya tidak hanya sebagai pelengkap, tapi juga mampu mengimbangi Jack dalam sisi aksi dan deduksi. Percaya deh, kalian bakal jatuh cinta sama karakter yang satu ini. Sama seperti terdahulunya juga, film yang kurang lebih berdurasi 2 jam ini sesekali menampilkan kelucuan-kelucuan yang segar.
Jack Reacher: Never Go Back sendiri disutradarai oleh Edward Zwick, yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan Tom Cruise pada film The Last Samurai. Film ini juga merupakan adaptasi dari versi novel (seri ke 18) buah karya dari Lee Child.
Secara keseluruhan, bagi saya Jack Reacher: Never Go Back cukup menghibur. Adegan aksinya entah kenapa mengingatkan saya dengan film-film aksi tahun '90-an. Tidak bertele-tele dan tepat ke sasaran. Enjoy then.
7/10
Saturday, October 15, 2016
THE ACCOUNTANT
Secara garis besar, film ini tidak menampilkan sesuatu hal yang luar biasa. Berhubung diperankan oleh Ben Affleck yang memang memiliki pesona dan daya tarik tersendiri, terlebih saat dia terpilih oleh Warner Bros untuk memerankan tokoh Batman, maka The Accountant boleh saya bilang sebagai film yang cukup layak untuk ditonton.
Menonton film ini ibarat kita yang sedang menyusun puzzle. Awalnya serba ribet dan sedikit membingungkan. Alur ceritanya memang terkesan tidak rapi dan melompat ke sana ke mari. Namun pada akhirnya, sebuah benang merah berhasil menyusun semuanya itu menjadi satu rangkaian jelas yang dapat membuat penonton bergumam "Oooh, gitu toh". Mungkin problemnya adalah waktu penjabarannya itu yang cukup lama. Sehingga tak ayal bagi sebagian penonton film ini terasa melelahkan, membosankan bahkan sedikit mengakibatkan kantuk. TIDAK APA-APA, LANJUTKAN SAJA....
Premis dari film yang berdurasi dua jam lebih dikit ini adalah seorang autis yang memiliki keistimewaan di bidang Matematika. Masa kecilnya dilalui dengan latihan fisik serta militer yang sangat keras. Dengan harapan agar di masa depannya nanti ia dapat mempersiapkan dirinya. Berprofesi sebagai akuntan, secara tidak sengaja ia terlibat dengan suatu masalah yang pada nantinya akan memberikan kejutan tersendiri baginya.
Filmnya sendiri bisa dikatakan tanggung, apakah ini film film drama atau aksi. Walau begitu, film ini menawarkan nuansa thriller yang bagus. Akting Ben Affleck yang memukau sayangnya tidak diimbangi dengan penampilan dari aktor dan aktris lainnya. Bahkan bisa dibilang mubazir. Padahal di situ ada J.K. Simmons, Anna Kendrick dan John Lithgow yang bisa dikatakan pemain kelas Oscar.
Akhirnya, walaupun The Accountant tidak terlalu menonjol namun oke lah untuk disimak. Filmnya saya rasa sangat berprospek bagus bila dibuatkan lanjutannya (sekuel) namun dengan syarat fokus pada aksinya saja. Melalui film ini entah kenapa saya berkeyakinan bahwa akuntansi itu bisa menjadi alat membunuh yang berbahaya. Anak akuntansi mesti nonton nih! Hehe.
7/10
Menonton film ini ibarat kita yang sedang menyusun puzzle. Awalnya serba ribet dan sedikit membingungkan. Alur ceritanya memang terkesan tidak rapi dan melompat ke sana ke mari. Namun pada akhirnya, sebuah benang merah berhasil menyusun semuanya itu menjadi satu rangkaian jelas yang dapat membuat penonton bergumam "Oooh, gitu toh". Mungkin problemnya adalah waktu penjabarannya itu yang cukup lama. Sehingga tak ayal bagi sebagian penonton film ini terasa melelahkan, membosankan bahkan sedikit mengakibatkan kantuk. TIDAK APA-APA, LANJUTKAN SAJA....
Premis dari film yang berdurasi dua jam lebih dikit ini adalah seorang autis yang memiliki keistimewaan di bidang Matematika. Masa kecilnya dilalui dengan latihan fisik serta militer yang sangat keras. Dengan harapan agar di masa depannya nanti ia dapat mempersiapkan dirinya. Berprofesi sebagai akuntan, secara tidak sengaja ia terlibat dengan suatu masalah yang pada nantinya akan memberikan kejutan tersendiri baginya.
Filmnya sendiri bisa dikatakan tanggung, apakah ini film film drama atau aksi. Walau begitu, film ini menawarkan nuansa thriller yang bagus. Akting Ben Affleck yang memukau sayangnya tidak diimbangi dengan penampilan dari aktor dan aktris lainnya. Bahkan bisa dibilang mubazir. Padahal di situ ada J.K. Simmons, Anna Kendrick dan John Lithgow yang bisa dikatakan pemain kelas Oscar.
Akhirnya, walaupun The Accountant tidak terlalu menonjol namun oke lah untuk disimak. Filmnya saya rasa sangat berprospek bagus bila dibuatkan lanjutannya (sekuel) namun dengan syarat fokus pada aksinya saja. Melalui film ini entah kenapa saya berkeyakinan bahwa akuntansi itu bisa menjadi alat membunuh yang berbahaya. Anak akuntansi mesti nonton nih! Hehe.
7/10
Wednesday, October 12, 2016
INFERNO
Inferno, merupakan sekuel dari The Da Vinci Code dan Angels & Demons. Sudah barang tentu mengisahkan seorang ahli simbol yang bernama Robert Langdon. Dalam Inferno kali ini, ia menjadi target dari pemburuan beberapa pihak. Didera sedikit hilang ingatan, Langdon berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sama seperti dua buah film sebelumnya, Inferno juga mengambil tema film yang sama. Yaitu aksi dan misteri. Keseruan serta kenikmatan dari film ini bisa didapat dari bagaimana memecahkan dan menyusun puzzle atau teka-teki hingga akhirnya menjadi suatu rangkaian yang dapat memecahkan kebuntuan masalah. Puzzle dan teka-teki tersebut tentunya dihubung-hubungkan dengan sejarah maupun mitos yang ada. Hal ini yang membuat menarik dari film-film yang diadaptasi dari novel-novel miliknya Dan Brown. Karena selalu menghadirkan trivia yang setidaknya bisa menjadi pengetahuan bagi kita. Saya baru tahu istilah "karantina" itu diambil dari bahasa Italia, yakni "quarante", yang saat itu sedang wabah kasus Black Death di Eropa. Menyaksikan Inferno, penonton dituntut untuk terus fokus dan konsentrasi dengan alur cerita yang ada. Sebab bila lengah sedikit tentunya akan kehilangan beberapa poin.
Bila dibandingkan dengan dua film pendahulunya, Inferno bagi saya lebih ramping, straight to the point, cukup intens dan menarik. Memang sih tidak se-kontroversial The Da Vinci Code, tapi sudah cukup baik bagi saya. Inferno menampilkan berbagai kejutan-kejutan. Termasuk dengan plot twist-nya yang tak diduga itu. Dari segi pemain, selain Tom Hanks, entah kenapa hanya Irrfan Khan dan Sidse Babett Knudsen saja yang mencuri perhatian. Untuk aksi terasa sekali agak berkurang, tapi masih bisa membuat fim ini greget untuk diikuti, terlebih lagi ketegangannya.
Akhir kata, Inferno sebuah film yang layak untuk disimak dan memiliki potensi besar untuk dibuat lanjutannya. Sebisa mungkin jangan membandingkan film ini dengan novelnya, karena film dan buku adalah media yang sangat berbeda. Buku mampu membuat para pembacanya untuk berfantasi sebebas-bebasnya, sedangkan dalam film fantasi tersebut hanya sebatas fantasi si pembuat film saja, selain itu keterbatasan durasi juga membuat film dan buku tidak bisa dibandingkan begitu saja. Jadi ada baiknya untuk lebih bisa menikmati film ini, sebaiknya jangan terlalu dibandingkan dengan novelnya. Fair enough?
6,5/10
Tambahan:
Ini merupakan film ketiga Tom Hanks di tahun 2016 ini setelah A Hologram for the King dan Sully.
Sama seperti dua buah film sebelumnya, Inferno juga mengambil tema film yang sama. Yaitu aksi dan misteri. Keseruan serta kenikmatan dari film ini bisa didapat dari bagaimana memecahkan dan menyusun puzzle atau teka-teki hingga akhirnya menjadi suatu rangkaian yang dapat memecahkan kebuntuan masalah. Puzzle dan teka-teki tersebut tentunya dihubung-hubungkan dengan sejarah maupun mitos yang ada. Hal ini yang membuat menarik dari film-film yang diadaptasi dari novel-novel miliknya Dan Brown. Karena selalu menghadirkan trivia yang setidaknya bisa menjadi pengetahuan bagi kita. Saya baru tahu istilah "karantina" itu diambil dari bahasa Italia, yakni "quarante", yang saat itu sedang wabah kasus Black Death di Eropa. Menyaksikan Inferno, penonton dituntut untuk terus fokus dan konsentrasi dengan alur cerita yang ada. Sebab bila lengah sedikit tentunya akan kehilangan beberapa poin.
Bila dibandingkan dengan dua film pendahulunya, Inferno bagi saya lebih ramping, straight to the point, cukup intens dan menarik. Memang sih tidak se-kontroversial The Da Vinci Code, tapi sudah cukup baik bagi saya. Inferno menampilkan berbagai kejutan-kejutan. Termasuk dengan plot twist-nya yang tak diduga itu. Dari segi pemain, selain Tom Hanks, entah kenapa hanya Irrfan Khan dan Sidse Babett Knudsen saja yang mencuri perhatian. Untuk aksi terasa sekali agak berkurang, tapi masih bisa membuat fim ini greget untuk diikuti, terlebih lagi ketegangannya.
Akhir kata, Inferno sebuah film yang layak untuk disimak dan memiliki potensi besar untuk dibuat lanjutannya. Sebisa mungkin jangan membandingkan film ini dengan novelnya, karena film dan buku adalah media yang sangat berbeda. Buku mampu membuat para pembacanya untuk berfantasi sebebas-bebasnya, sedangkan dalam film fantasi tersebut hanya sebatas fantasi si pembuat film saja, selain itu keterbatasan durasi juga membuat film dan buku tidak bisa dibandingkan begitu saja. Jadi ada baiknya untuk lebih bisa menikmati film ini, sebaiknya jangan terlalu dibandingkan dengan novelnya. Fair enough?
6,5/10
Tambahan:
Ini merupakan film ketiga Tom Hanks di tahun 2016 ini setelah A Hologram for the King dan Sully.
Subscribe to:
Posts (Atom)