Akses layanan e-mail di Indonesia bertambah
dengan kehadiran webmail www.merahputih.id. Ini merupakan e-mail pertama
milik Indonesia yang diharapkan dapat mengurangi beban biaya bandwith
penggunaan internet internasional dan menunjukkan identitas bangsa
Indonesia.
Untuk sementara ini layanan webmail
merahputih.id sudah memiliki kemampuan berbagi dokumen, video dan
gambar. Juga memberikan kapasitas penyimpanan sebesar 50GB. Lumayan.
Dan baru saja saya membuat e-mail di webmail ini. Yaitu anthonysinaga@merahputih.id dan spawnist@merahputih.id
Yuk buruan daftar juga! Tak ada salahnya kok.
Friday, July 28, 2017
Wednesday, July 26, 2017
WAR FOR THE PLANET OF THE APES
Tak bisa dipungkiri, War for the Planet of the Apes sukses menjadi penutup trilogi yang cantik, apik serta epik. Terlepas dari sisi visual yang luar biasa, film ini juga sangat menyentuh dan menguras emosi. Menonton film ini ibarat sedang melakukan "spiritual journey". Karena banyak pesan-pesan moral yang bisa diperoleh di sini. Memberikan kita pelajaran bahwa damai itu indah. Namun kedamaian tak bisa diraih hanya dengan begitu saja, sebab memerlukan perjuangan dan pengorbanan, terlebih-lebih mengalahkan ego sendiri. Melalui film ini kita yang selaku manusia mungkin sedikit tersentil karena kera ternyata digambarkan lebih "manusiawi" daripada manusia itu sendiri. Inilah yang menjadi kekuatan dari film tersebut. Dengan alur cerita yang indah, mengharu biru dan beberapa aksi menegangkan durasi 140 menit yang relatif panjang dan lama itu pun sama sekali tidak terasa.
Planet of the Apes sendiri aslinya adalah sebuah kisah dari sebuah novel berjudul La Planete des Singes yang rilis pada tahun 1963 silam. Melihat kesuksesan novelnya, Hollywood tidak tinggal diam. Mereka bergerak cepat dengan membuatkan filmnya. Terhitung sudah ada begitu banyak film dan sekuel yang diadaptasi dari novel itu. Ada yang sukses, ada juga yang gagal. Selepas itu franchise ini vakum.
Sampai pada akhirnya di tahun 2011 franchise ini muncul kembali dengan judul Rise of the Planet of the Apes yang lebih fokus ke origin story-nya. Teknologi yang sudah maju dan canggih membuat film ini sukses di luar dugaan. Ditambah lagi dengan publik yang ternyata begitu tertarik dengan cerita kaum kera yang dijadikan sebagai protagonis, sedangkan manusia adalah antagonisnya. Kesuksesan tersebut dilanjutkan dengan sekuel di tahun 2014, Dawn of the Planet of the Apes, yang lagi-lagi mendapat pujian serta kritik bagus.
Lazimnya film trilogi, film ketiga selalu menampilkan cerita yang menjadi konklusi ataupun ending. Bagaimana akhir dari kisah perjalanan perselisihan antara manusia dengan para kera melalui War for the Planet of the Apes ini? Silakan disimak sendiri.
8,5/10
Apes. Together. Strong.
Planet of the Apes sendiri aslinya adalah sebuah kisah dari sebuah novel berjudul La Planete des Singes yang rilis pada tahun 1963 silam. Melihat kesuksesan novelnya, Hollywood tidak tinggal diam. Mereka bergerak cepat dengan membuatkan filmnya. Terhitung sudah ada begitu banyak film dan sekuel yang diadaptasi dari novel itu. Ada yang sukses, ada juga yang gagal. Selepas itu franchise ini vakum.
Sampai pada akhirnya di tahun 2011 franchise ini muncul kembali dengan judul Rise of the Planet of the Apes yang lebih fokus ke origin story-nya. Teknologi yang sudah maju dan canggih membuat film ini sukses di luar dugaan. Ditambah lagi dengan publik yang ternyata begitu tertarik dengan cerita kaum kera yang dijadikan sebagai protagonis, sedangkan manusia adalah antagonisnya. Kesuksesan tersebut dilanjutkan dengan sekuel di tahun 2014, Dawn of the Planet of the Apes, yang lagi-lagi mendapat pujian serta kritik bagus.
Lazimnya film trilogi, film ketiga selalu menampilkan cerita yang menjadi konklusi ataupun ending. Bagaimana akhir dari kisah perjalanan perselisihan antara manusia dengan para kera melalui War for the Planet of the Apes ini? Silakan disimak sendiri.
8,5/10
Apes. Together. Strong.
Saturday, July 22, 2017
DUNKIRK
Dunkirk, sebuah karya terbaru dari Christopher Nolan, sutradara kawakan yang prestasinya tak perlu dipertanyakan lagi. Sineas ini kerap dikenal dengan menampilkan cerita-cerita yang unik, berbau science dan penuh akan twist. Itu bisa dilihat pada Memento, Inception, Interstellar, dll. Nah kali ini di luar kepakemanannya, Nolan menghadirkan sebuah cerita yang dilatar belakangi dari kisah nyata (based on historical events), yaitu tentang prajurit sekutu yang terjebak di pesisir pantai Dunkirk, Perancis oleh pasukan NAZI Jerman. Dalam kecemasannya, mereka berharap akan datang bantuan bahkan mukjizat demi keselamatan nyawa mereka.
Setelah menyaksikan film ini, satu hal yang dapat saya pastikan adalah bahwa film ini mengambil tiga sudut pandang yang berbeda. Yaitu pantai, laut dan udara. Oleh karena itu sangat disarankan bagi kalian untuk jangan sampai datang terlambat masuk ke dalam studio. Karena informasi yang diberikan di awal film sangat penting. Penonton akan diminta untuk tetap fokus memperhatikan masing-masing sudut pandang tersebut yang pada akhirnya nanti akan menyatu menjadi rangkaian alur kisah yang memberikan konklusi. Resiko dari film jenis seperti ini adalah penonton tentu akan merasa bingung dan repot untuk memahami. Terlebih lagi pengambilan gambarnya yang menggunakan shaky camera, makin membuat penonton serasa mabuk laut. Bila sudah begini, istirahatlah sesekali dengan memejamkan mata dan menggerakkan leher.
Dunkirk sebuah film yang tergolong singkat. Namun tanpa basa-basi langsung tancap gas sejak awal tanpa memberikan kesempatan kepada penonton untuk bernafas. Mulai dari aksi tembak-tembakan, pengeboman sampai dengan suasana mencekam layaknya benar-benar berada di zona perang. Dengan iringan scoring yang luar biasa dari seorang Hans Zimmer menambah kekelaman yang ada, walaupun sebenarnya terkadang ada yang tidak pas pada tempatnya. Sinematografi tak perlu diragukan, mantap!
Secara teknis film ini oke. Namun untuk cerita dan pengembangan karakter, terlampau biasa. Dialog serta penjiwaan yang terasa datar. Perpindahan scene dari sudut pandang yang satu ke sudut pandang yang lain tak jarang justru makin membuat penonton capek berpikir yang akhirnya membawa ke arah kebosanan. So, usahakan menonton film ini dalam keadaan fresh.
7/10
Malas menonton film ini untuk kedua atau ketiga kalinya. Cukup sekali saja.
Setelah menyaksikan film ini, satu hal yang dapat saya pastikan adalah bahwa film ini mengambil tiga sudut pandang yang berbeda. Yaitu pantai, laut dan udara. Oleh karena itu sangat disarankan bagi kalian untuk jangan sampai datang terlambat masuk ke dalam studio. Karena informasi yang diberikan di awal film sangat penting. Penonton akan diminta untuk tetap fokus memperhatikan masing-masing sudut pandang tersebut yang pada akhirnya nanti akan menyatu menjadi rangkaian alur kisah yang memberikan konklusi. Resiko dari film jenis seperti ini adalah penonton tentu akan merasa bingung dan repot untuk memahami. Terlebih lagi pengambilan gambarnya yang menggunakan shaky camera, makin membuat penonton serasa mabuk laut. Bila sudah begini, istirahatlah sesekali dengan memejamkan mata dan menggerakkan leher.
Dunkirk sebuah film yang tergolong singkat. Namun tanpa basa-basi langsung tancap gas sejak awal tanpa memberikan kesempatan kepada penonton untuk bernafas. Mulai dari aksi tembak-tembakan, pengeboman sampai dengan suasana mencekam layaknya benar-benar berada di zona perang. Dengan iringan scoring yang luar biasa dari seorang Hans Zimmer menambah kekelaman yang ada, walaupun sebenarnya terkadang ada yang tidak pas pada tempatnya. Sinematografi tak perlu diragukan, mantap!
Secara teknis film ini oke. Namun untuk cerita dan pengembangan karakter, terlampau biasa. Dialog serta penjiwaan yang terasa datar. Perpindahan scene dari sudut pandang yang satu ke sudut pandang yang lain tak jarang justru makin membuat penonton capek berpikir yang akhirnya membawa ke arah kebosanan. So, usahakan menonton film ini dalam keadaan fresh.
7/10
Malas menonton film ini untuk kedua atau ketiga kalinya. Cukup sekali saja.
Saturday, July 15, 2017
Obrol Santai Bareng Tim Jurnalis Detikcom
Sekitar jam 8 malam (Jumat, 14/7/2017) kemarin saya memenuhi undangan dari Diskominfo Provinsi Kalimantan Tengah untuk ngobrol santai dengan tim jurnalis Detikcom yang (ternyata) sudah beberapa hari ini berada di Kota Palangka Raya untuk meliput terkait rencana pemindahan ibu kota RI ke Palangka Raya. Yang diundang tidak hanya saya sendiri. Tapi juga ada beberapa kawan-kawan dari berbagai media.
Dari obrol-obrol, yang dapat saya tangkap adalah tim jurnalis dari situs portal berita nomor 1 di Indonesia ini sangat kagum dengan kehangatan, keramahan, keberagaman dan toleransi yang ada di Palangka Raya. Sesuatu yang mesti kita viralkan agar dapat diketahui juga oleh orang-orang lain di luar sana. Karena poin keberagaman dan toleransi itulah yang membuat Palangka Raya semakin dilirik dan dilihat oleh pihak maupun daerah-daerah lain. Bahkan kalau bisa kedua poin tersebut haruslah menjadi jati diri yang permanen bagi Palangka Raya itu sendiri, dimana kota ini sudah dikenal sebagai Bumi Pancasila.
Sungguh, melalui obrol-obrol santai ini banyak informasi dan ilmu yang didapat.
Dan, sebelum pulang saya beserta teman-teman sempat diwawancarai oleh tim Detikcom. Hanya sebuah wawancara singkat dimana mereka meminta saya untuk memberikan tanggapan tentang keberagaman dan toleransi yang ada di Kota Palangka Raya.
Dari obrol-obrol, yang dapat saya tangkap adalah tim jurnalis dari situs portal berita nomor 1 di Indonesia ini sangat kagum dengan kehangatan, keramahan, keberagaman dan toleransi yang ada di Palangka Raya. Sesuatu yang mesti kita viralkan agar dapat diketahui juga oleh orang-orang lain di luar sana. Karena poin keberagaman dan toleransi itulah yang membuat Palangka Raya semakin dilirik dan dilihat oleh pihak maupun daerah-daerah lain. Bahkan kalau bisa kedua poin tersebut haruslah menjadi jati diri yang permanen bagi Palangka Raya itu sendiri, dimana kota ini sudah dikenal sebagai Bumi Pancasila.
Sungguh, melalui obrol-obrol santai ini banyak informasi dan ilmu yang didapat.
Dan, sebelum pulang saya beserta teman-teman sempat diwawancarai oleh tim Detikcom. Hanya sebuah wawancara singkat dimana mereka meminta saya untuk memberikan tanggapan tentang keberagaman dan toleransi yang ada di Kota Palangka Raya.
Wednesday, July 05, 2017
SPIDER-MAN: HOMECOMING
Spidey is back! Reboot kedua dari kisah petualangan Peter Parker kali ini terasa lebih spesial dibandingkan reboot sebelumnya. Kenapa? Hal ini bermula dari tanggal bersejarah bagi insan penggemar komik superhero, yaitu 10 Februari 2015 kemarin, di mana Spider-Man diwakili oleh pihak Sony Studio akhirnya secara resmi menyatakan gabung dengan Marvel Studio dan berhak masuk ke dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Bergabungnya Spider-Man ke MCU tentunya buah dari proses negosiasi dan tarik ulur yang alot. Antusias Marvel Studio menyambut Spider-Man ditandai dengan langsung dihadirkannya Spider-Man dalam Captain America: Civil War. Sebuah perkenalan yang tepat momennya. Dan momen tersebut dikembangkan dengan merilis sebuah film reboot Spider-Man, yang diberi sub judul: Homecoming.
Spider-Man: Homecoming yang kali ini diperankan oleh aktor muda baru berusia 19 tahun Tom Holland, mengambil lini masa pasca kejadian dalam Captain America: Civil War. Secara garis besar, ceritanya berjalan dengan lancar dari awal hingga akhir. Alur terasa cepat, namun tetap dituturkan secara konsisten tanpa terbata-bata serta aman tanpa adanya lubang plot. Menjadi kebiasaan bagi film-filmnya Disney, dialog-dialog tampil cukup cerdas dengan pendalaman karakter protagonis yang maksimal. Dan tentu saja disisipi dengan beberapa adegan jenaka yang menggelitik dan mengundang tawa renyah. Dari segi aksi, penonton akan dimanjakan dengan CGI dan spesial efek yang halus nyaris tanpa cela.
Tom Holland layak diberikan jempol karena berhasil memerankan seorang Peter Parker remaja yang masih berusia 15 tahun. Melalui aktingnya Ia mampu menerjemah dan mengaplikasikan bagaimana kepolosan dan keluguan dari seorang bocah yang masih memiliki emosi labil, walaupun pada akhirnya berusaha untuk dapat berpikir dan bertindak dewasa. Pujian juga layak disematkan kepada Michael Keaton yang mendapatkan jatah antagonis/villain, yakni Vulture. Nama Michael Keaton, yang pernah berperan sebagai Batman dalam film Batman-nya Tim Burton (1989), tak perlu diragukan lagi kualitasnya.
Akhir kata, dari keseluruhan franchise Spider-Man yang ada, Spider-Man: Homecoming sukses menampilkan style dan feel yang baru dan menyegarkan. Menjadi sebuah pijakan awal yang bagus bagi lahirnya kembali superhero yang kita cintai dan sayangi ini. Dan juga menjadi sentilan keras bagi Sony Studio bahwa seperti inilah cara membuat film Spider-Man yang baik dan benar.
8/10
Sempat khawatir mengingat pada tiap poster Spider-Man: Homecoming selalu saja disertai dengan kemunculan Iron Man. Khawatir karena Iron Man justru akan lebih mencuri perhatian ketimbang Spider-Man itu sendiri. Untunglah hal tersebut tidak terjadi. Tampil minor, namun Iron Man memberikan peranan yang begitu besar.
Tambahan:
Akan ada dua buah adegan tambahan (mid-credit dan post-credit). Pada mid-credit adegannya berupa hint villain selanjutnya (menandakan film ini akan ada sekuel!). Sedangkan pada post-credit adegannya berupa, ah, gak penting banget pokoknya. Abaikan saja.
Spider-Man: Homecoming yang kali ini diperankan oleh aktor muda baru berusia 19 tahun Tom Holland, mengambil lini masa pasca kejadian dalam Captain America: Civil War. Secara garis besar, ceritanya berjalan dengan lancar dari awal hingga akhir. Alur terasa cepat, namun tetap dituturkan secara konsisten tanpa terbata-bata serta aman tanpa adanya lubang plot. Menjadi kebiasaan bagi film-filmnya Disney, dialog-dialog tampil cukup cerdas dengan pendalaman karakter protagonis yang maksimal. Dan tentu saja disisipi dengan beberapa adegan jenaka yang menggelitik dan mengundang tawa renyah. Dari segi aksi, penonton akan dimanjakan dengan CGI dan spesial efek yang halus nyaris tanpa cela.
Tom Holland layak diberikan jempol karena berhasil memerankan seorang Peter Parker remaja yang masih berusia 15 tahun. Melalui aktingnya Ia mampu menerjemah dan mengaplikasikan bagaimana kepolosan dan keluguan dari seorang bocah yang masih memiliki emosi labil, walaupun pada akhirnya berusaha untuk dapat berpikir dan bertindak dewasa. Pujian juga layak disematkan kepada Michael Keaton yang mendapatkan jatah antagonis/villain, yakni Vulture. Nama Michael Keaton, yang pernah berperan sebagai Batman dalam film Batman-nya Tim Burton (1989), tak perlu diragukan lagi kualitasnya.
Akhir kata, dari keseluruhan franchise Spider-Man yang ada, Spider-Man: Homecoming sukses menampilkan style dan feel yang baru dan menyegarkan. Menjadi sebuah pijakan awal yang bagus bagi lahirnya kembali superhero yang kita cintai dan sayangi ini. Dan juga menjadi sentilan keras bagi Sony Studio bahwa seperti inilah cara membuat film Spider-Man yang baik dan benar.
8/10
Sempat khawatir mengingat pada tiap poster Spider-Man: Homecoming selalu saja disertai dengan kemunculan Iron Man. Khawatir karena Iron Man justru akan lebih mencuri perhatian ketimbang Spider-Man itu sendiri. Untunglah hal tersebut tidak terjadi. Tampil minor, namun Iron Man memberikan peranan yang begitu besar.
Tambahan:
Akan ada dua buah adegan tambahan (mid-credit dan post-credit). Pada mid-credit adegannya berupa hint villain selanjutnya (menandakan film ini akan ada sekuel!). Sedangkan pada post-credit adegannya berupa, ah, gak penting banget pokoknya. Abaikan saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)